Oleh A. Fatih Syuhud
Tidak ada satu tujuan yang paling dicari oleh umat manusia kecuali kebahagian. Semua orang ingin hidup bahagia. Bahkan kalau ditelusuri, hampir setiap perbuatan yang dilakukan seseorang bertujuan langsung atau tidak langsung untuk mencapai kebahagiaan. Baik itu perbuatan baik, seperti menuntut ilmu, maupun perbuatan yang jahat sekalipun seperti mencuri atau mencopet. Tanya pada pencuri, apa alasan dia mencuri, ujung dari jawaban pasti untuk mencari kebahagiaan.
Banyak filosof dan ilmuwan psikologi yang membuat ulasan panjang menawarkan konsep bahagia dan bagaimana mencapai kebahagiaan. Aristotle, misalnya, mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah kehidupan yang tentram dan itu terjadi apabila seseorang dapat mencapai potensi diri secara maksimal.
Dalam Islam, konsep kebahagiaan itu secara garis besar terbagi menjadi dua: bahagia di dunia dan bahagia di akhirat (QS Al Baqarah 2:201).
Bahagia di Dunia adalah Kerja Keras
Berbeda dengan kebahagiaan di akhirat yang digambarkan dalam Al Quran sebagai tempat yang tenang, nyaman dan “penuh fasilitas” serta keabadian (QS Al Baqarah 2:25), bahagia di dunia baru dapat tercapai oleh adanya tiga faktor yang sama sekali berbeda yakni, pertama adalah kerja keras (QS Al Anfal 8:60; Al Jum’ah 62:9-10; Al Ankabut 29:69; Al Balad 90:4-17).
Kedua, rasa syukur atas apapun yang telah dihasilkan dari kerja keras tadi (QS Ibrahim 14:7; An Naml 17:40) . Bahwa buah yang dihasilkan itu sedikit atau banyak tidaklah begitu penting.
Ketiga, tawakkal. Saat kerja keras maksimal dengan pengerahan segala daya dan pikiran telah dilakukan, maka langkah akhir adalah berserah diri (tawakkal) pada-Nya (QS Ar Ra’d 13:88). Langkah ketiga ini perlu dan harus dilakukan terutama di saat kerja keras kita tidak membuahkan hasil yang diinginkan.
Ketiga unsur kunci untuk mencapai kebahagiaan di dunia (fid- duniya hasanah) di atas harus dilakukan secara terus menerus sampai akhir hayat. Kerja keras demi kerja keras selalu diperlukan untuk menciptakan harapan-harapan baru. Karena adanya harapan membuat manusia termotivasi untuk hidup lebih baik (QS Yusuf 12:87) . Dan karena vitalitas dan kualitas hidup seseorang sangat ditentukan oleh besarnya harapan yang dia ciptakan dari kerja kerasnya.
Bersyukur menjadi unsur kedua yang tak kalah pentingnya. Di samping untuk menikmati “panen” dari hasil kita kerja keras “bercocok-tanam”, ia menjadi saat yang tepat untuk berkontemplasi dan berintrospeksi atas apa yang sudah dilakukan serta untuk membuat rencana apa lagi yang perlu dijalankan untuk menciptakan harapan baru yang lain.
Ada saat di mana hasil kerja keras kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, di sinilah fungsi tawakal sangatlah penting (QS Al Buruj 85:71). Ia dapat menjadi rem dari keputusasaan. Tanpa rem ini tidak sedikit orang yang mengakhiri hidupnya hanya karena kekecewaan kecil yang menderanya. Sebaliknya banyak orang dapat bertahan dan bahkan bangkit dari kejatuhan karena adanya rem tawakal dan timbulnya harapan baru lain yang diciptakannya.
Jadi, bahagia di dunia bukanlah hidup dengan bermalas-malasan atau bersenang-senang yang semu. Alih-alih bahagia, hidup seperti ini adalah hidup tanpa harapan dan tujuan yang justru identik dengan derita dan keputusasaan.
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar